1. CALEG DPR RI DAPIL V JABAR NO. URUT 5

2. Ketua Forum Redam Korupsi (FORK)-Cabang Bogor.

3. Ketua Lembaga Kajian Sosial Ekonomi-Wilayah Bogor.

4. Koordinator Konsultasi Hukum bagi Rakyat-Wilayah Bogor.

Jumat, 01 November 2013

Koruptor, Hilang Iman

Dengan semakin banyaknya koruptor tertangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kita semakin gembira. Ini berarti kehadiran KPK memang satu satunya yang bisa mengurangi dan menyelamatkan uang negara dari gerusan para penjahat berkerah putih. Kehadiran KPK harus terus dipertahankan dan bahkan wilayah kerja dan keorganisasiannya mesti dikembangkan,misalnya hingga Tingkat Provinsi.
 
Bergembira bahwa KPK bisa menangkap koruptor, tapi kita  prihatin para koruptor yang tertangkap itu mereka adalah para cendekiawan, akademisi, kaum intelek, mereka yang sebelumnya dinilai teladan dan kaum agamis (orang yang memiliki ilmu agama).
 
Kalau kita telisik kenapa orang-orang seperti itu bisa menjadi koruptor, orang yang baik-baik menjadi penjahat atau orang yang kita sebut sebelumnya sebagai udztad atau kiayi bisa menjadi penjahat juga, sehingga disebut orang "bekas kiayi atau bekas udztad, orang yang sudah memiliki jabatan tinggi dan digajih sangat besar en toh masih nafsu korupsi, mungkin persoalannya terletak pada "nafsu keduniaan" yang tidak dikawal dengan sifat iman dan takwa. 
Pertama, bahwa mereka yang memiliki intelektual tinggi, akademisi, berteladan, dan agamis tidak kuat terhadap godaan duniawi yang berbentuk materi yang tidak halal. Ilmunya, emosinya, dan intelektualnya tidak bisa menghalangi nafsu angkara murka duniawi yang busuk. Apa yang ia dapat dari pendidikan, pengalaman dan pekerjaannya tidak berbanding lurus dengan akhlaq yang baik, iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
 
Kedua, bahwa godaan harta duniawi yang haram itu selain karena dirinya lemah juga karena pengaruh lingkungan, baik itu lingkungan kerja, lingkungan keluarga dan atau lingkungan organisasi yang mungkin ia berada. Pengaruh lingkungan kerja biasanya mereka pejabat yang memiliki pekerjaan bersifat menentukan. Tanda tangannya, kebijakannya, suara mulutnya menjadi penentu untuk menghasilkan output yang mendatangkan uang atau fasilitas yang berbentuk pelayanan, sertifikat perijinan, dlsb. dari sinilah, mereka yang tadinya baik dan agamis lama kelamaan menjadi tidak baik dan kufur. Tak tahan godaan harta yang diserahkan oleh mereka yang dinamakan penyuap. 
 
Pengaruh lingkungan keluarga, bisa muncul karena dorongan para anggota keluarga seperti isteri dan anak. Isteri yang karena lingkungannya berada di area orang-orang berduit seringkali memunculkan sifat persaingan harta, tidak mau dikalahkan oleh orang lain, misalnya dalam hal fesyen, kendaraan, assesories (perhiasan) atau pergaulannya. Isteri yang glamour biasanya menuntut kepada suami untuk diberikan harta yang lebih. Disisi lain, penghasilan suami tidak bisa mengfakomodir kepentingan isteri. Juga pengaruh anak. Anak yang terbiasa dididik materi oleh orang tuanya menjadi banyak tuntutan untuk menghidupi pergaulannya. Untuk memenuhi kebutuhannya itu, si anak menuntut diberikan uang dan harta yang banyak. 
 
Kemudian, seseorang yang karena dipusaran kekuasan politik memerlukan cukup harta untuk tetap eksis di lingkaran kekuasaan dengan menjadi penyumbang partai. Dorongan seperti itu menjadikan ia mencari celah-celah berbuat jahat dengan memanfaatkan fasilitas dan kewenangannya.
 
Semua pengaruh itu, yaitu pengaruh lingkungan kerja, pengaruh lingkungan keluarga dan pengaruh lingkungan dimana ia bernaung di partai menggerus keimanannya sehingga roboh pada jurang kenistaan dan kekufuran.
 
Ketika seseorang berbuat maksiat kepada Allah misalnya berbuat korupsi, maka seketika itu imannya hilang alias kufur. Semua amalan ibadah dan amalan kebaikannya pupus sudah. Kan, bila kita memakan harta bathil, maka ibadah kita tidak akan diterima selama 40 hari. Apalagi kalau kebathilannya itu dilakukan terus menerus, maka selama hidupnya ibadah kita tidak akan diterima. Mereka itulah yang disebut sebagai pendusta agama. "Neraka weil balasan bagi mereka yang mendustakan agama dan lalai dalam sholatnya. Artinya, walaupun sholatnya rajin dilakukan tetapi selalu diiringi dengan kebathilan, itulah disebut sholat yang lalai dan sekaligus pendusta agama.
 
Oleh karena itu, siapapun mereka yang memiliki jabatan dan memiliki kewenangan tinggi, harus mengawal dirinya dengan sifat dan sikap iman dan taqwa. "Memahami, menyadari dan mengerti" bahwa segala gerak-gerik kita ada yang mengawasi dan mencatatnya, yaitu para Malaikat pencatat amal baik dan buruk. 
 
Selain pengawasan yang bersifat agamis juga dibarengi pengawasan ditempat kerja. Sesama rekan pejabat harus memiliki kesadaran untuk berbuat baik dan saling mengawasi satu dengan lainnya. "Saling mengingatkan dalam urusan kebaikan dan dalam urusan kesabaran".
 
Para pejabat dan para pemangku kewenangan harus bisa meredam para anggota lingkungan keluarganya dari nafsu diniawi yang haram. Sebagai kepala keluarga, harus menjadi teladan dan imam yang baik yang menuntun anggota keluarganya ke jalan yang diridhoi-Nya. 
 
Bagi lingkungan kerjanya, ia harus menjadi pimpinan yang baik yang menuntun anak buahnya bekerja jujur, berintegritas, disiplin dan profesional.
 
Agar Allah senantiasa membimbing kita untuk menjadi orang-orang yang lurus, maka seringlah berdoa kepada Allah "Ya Allah janganlah Engkau condongkan hati kami setelah Engkau berikan petunjuk kapada kami dan berikanlah rahmat dari sisi Engkau, karena sesungguhnya Engkau Maha Pemberi. Dan agar keluarga kita menjadi keluarga yang baik, maka panjatkanlah doa "Ya Allah jadikanlah anak kami, cucu kami, dan isteri kami menjadi penyejuk hati kami dan jadikanlah mereka sebagai pemimpin orang-orang yang bertaqwa". Mari kita berbuat yang terbaik untuk hidup kita ini, "Rasulullah Saw mencintai mereka yang berbuat baik walaupun sedikit tetapi dilakukan secara terus menerus". 
 
Mari kita awali bersih-bersih dari diri kita. Mudah-mudahan negeri ini, Negeri yang yang baik dan negeri yang senantiasa diampuni Allah.