1. CALEG DPR RI DAPIL V JABAR NO. URUT 5

2. Ketua Forum Redam Korupsi (FORK)-Cabang Bogor.

3. Ketua Lembaga Kajian Sosial Ekonomi-Wilayah Bogor.

4. Koordinator Konsultasi Hukum bagi Rakyat-Wilayah Bogor.

Kamis, 16 Januari 2014

Maraknya Praktik Korupsi Bukti Penistaan Nilai Pancasila

Tahun 2013 lalu diwarnai dengan kegaduhan maraknya Kasus Korupsi yang menghiasi media dan menjadi perbincangan seru dalam masyarakat. Tengok saja, hampir setiap hari masyarakat disuguhi berbagai kasus skandal Korupsi. Mulai dari kasus Korupsi Bailout Bank Century, Kasus Hambalang, Kasus Simulator, Impor daging sapi dan kasus yang menimpa Ketua Mahkamah Konstitusi. Sudah banyak pejabat negara, pengusaha, politisi dan komponen masyarakat lainnya yang mendekam di hotel Prodeo dan dicap sebagai koruptor. Namun ternyata hal itu tidak membuat jera, faktanya kecenderungannya setiap waktu korupsi semakin riuh. 
Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harfiahnya pemerintahan oleh para pencuridimana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.

Padahal bangsa Indonesia mempunyai dasar negara Pancasila yang merupakan pancaran nilai luhur bangsa. Namun, benarkah nilai-nilai lihur Pancasila telah diamalkan seluruh komponen bangsa? Jika nilai-nilai universal sudah diamalkan, mengapa negara Indonesia yang menjunjung moralitas justru marak praktik korupsi, kolusi dan nepotisme sampai Indonesia dicap sebagai negara korup.
Nilai-nilai luhur Pancasila yang seharusnya dijadikan acuan seperti dilupakan. Akibatnya, korupsi marak di mana-mana. Ironisnya, tindak korupsi itu dilakukan elite politik yang seharusnya memberikan contoh dalam menjunjung moralitas. Terkuaknya kasus korupsi di hampir semua lembaga atau departemen pemerintahan seakan meneguhkan bahwa kekuasaan cenderung korup. Fenomena itu menegaskan bahwa Pancasila selama ini hanya dijadikan slogan, tak dijiwai sebagai nilai luhur yang patut dijunjung tinggi.
Kandungan nilai-nilai Pancasila memiliki kesesuaian dengan fitrah Ilahiyah yang termuat di dalam ajaran sejumlah kitab suci dalam semua agama. Nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila itu tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang dimiliki dan diamalkan sebagai landasan hidup pemeluk agama apa pun. Maka, Pancasila dianggap sebagai ideologi yang bersifat universal karena dalam Pancasila ada nilai-nilai sosialis religius dan nilai-nilai etis.
Sayang seribu sayang, nilai-nilai itu tampaknya belum diamalkan dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia. Pancasila kerap kali ditafsirkan sepihak, dan cenderung diselewengkan sejumlah oknum dan pejabat negara. Nurani sebagian pejabat di Indonesia tidak lagi berjiwa Pancasilais. Tak heran, jika korupsi merajalela dan merebak di mana-mana.

Kembali ke Mentalitas Pancasila
Negeri Indonesia yang dibangun di atas pijakan keluhuran budi kebhinnekaan Nusantara oleh para pendiri bangsa seperti dilupakan. Korupsi pun menjadi penyakit yang sulit disembuhkan, karena dilakukan secara sistemik. Terkuaknya kasus-kasus korupsi di lembaga-lembaga penegak hukum, belakangan ini merupakan wajah buram sejarah korupsi di Indonesia.
Mengapa korupsi menjadi penyakit menahun di setiap lembaga dan departemen/kementerian di Indonesia? Pasalnya, Pancasila yang memuat nilai-nilai moral dan etis seakan menjadi pepesan kosong yang tak bermakna dan cenderung dilupakan. Karena itu, kini waktunya menjadikan Pancasila sebagai rumah bagi mentalitas semua komponen masyarakat. Pancasila harus kembali dijadikan sebagai ‘kompas’ atau ‘rambu-rambu’ untuk bertindak dan berperilaku agar tak melenceng dari nilai-nilai yang telah dijadikan sebagai kontrak sosial bersama sejak Indonesia merdeka.
Pada aras lain, Pancasila harus kembali dijadikan acuan hukum bahkan sumber dari segala sumber hukum. Karena, dengan cara itu, Indonesia benar-benar menjadi negara hukum, tidak lagi menjadikan nafsu atau ketamakan harta di balik kepentingan setiap perundang-undangan atau konstitusi. Sistem warisan rezim Orde Baru yang kental ketamakan akan kekuasaan dan harta tampaknya tetap menyelimuti di antara komponen warga bangsa.
Tak pelak, cara-cara lama penyusunan konstitusi yang kerap ditengarai hanya untuk mencari celah pembenaran atas kehendak kelompok, golongan, atau pribadi tertentu, tetap saja marak. Tak sedikit perundang-undangan dibuat dengan mencederai prinsip sila keempat Pancasila, yang lebih mengedepankan musyawarah-mufakat. Fakta bahwa banyak di antara elite politik dan pejabat negeri ini ramai-ramai korupsi, tak dapat disangkal, tidak sesuai acuan nilai-nilai luhur universal Pancasila. Perilaku demikian jelas merupakan pelanggaran terhadap Pancasila.