Tahun 2013 lalu diwarnai dengan kegaduhan maraknya Kasus Korupsi yang
menghiasi media dan menjadi perbincangan seru dalam masyarakat. Tengok
saja, hampir setiap hari masyarakat disuguhi berbagai kasus skandal
Korupsi. Mulai dari kasus Korupsi Bailout Bank Century, Kasus Hambalang,
Kasus Simulator, Impor daging sapi dan kasus yang
menimpa Ketua Mahkamah Konstitusi. Sudah banyak pejabat negara,
pengusaha, politisi dan komponen masyarakat lainnya yang mendekam di
hotel Prodeo dan dicap sebagai koruptor. Namun ternyata hal itu tidak
membuat jera, faktanya kecenderungannya setiap waktu korupsi semakin
riuh.
Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah
penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk
pemerintah pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya
korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan
pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai
dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung
korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harfiahnya pemerintahan oleh para pencuri, dimana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.
Padahal bangsa Indonesia mempunyai dasar negara Pancasila yang
merupakan pancaran nilai luhur bangsa. Namun, benarkah nilai-nilai lihur
Pancasila telah diamalkan seluruh komponen bangsa? Jika nilai-nilai
universal sudah diamalkan, mengapa negara Indonesia yang menjunjung
moralitas justru marak praktik korupsi, kolusi dan nepotisme sampai
Indonesia dicap sebagai negara korup.
Nilai-nilai luhur Pancasila yang seharusnya dijadikan acuan seperti
dilupakan. Akibatnya, korupsi marak di mana-mana. Ironisnya, tindak
korupsi itu dilakukan elite politik yang seharusnya memberikan contoh
dalam menjunjung moralitas. Terkuaknya kasus korupsi di hampir semua
lembaga atau departemen pemerintahan seakan meneguhkan bahwa kekuasaan
cenderung korup. Fenomena itu menegaskan bahwa Pancasila selama ini
hanya dijadikan slogan, tak dijiwai sebagai nilai luhur yang patut
dijunjung tinggi.
Kandungan nilai-nilai Pancasila memiliki kesesuaian dengan fitrah
Ilahiyah yang termuat di dalam ajaran sejumlah kitab suci dalam semua
agama. Nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila itu tidak
bertentangan dengan nilai-nilai yang dimiliki dan diamalkan sebagai
landasan hidup pemeluk agama apa pun. Maka, Pancasila dianggap sebagai
ideologi yang bersifat universal karena dalam Pancasila ada nilai-nilai
sosialis religius dan nilai-nilai etis.
Sayang seribu sayang, nilai-nilai itu tampaknya belum diamalkan dalam
kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia. Pancasila kerap kali
ditafsirkan sepihak, dan cenderung diselewengkan sejumlah oknum dan
pejabat negara. Nurani sebagian pejabat di Indonesia tidak lagi berjiwa
Pancasilais. Tak heran, jika korupsi merajalela dan merebak di
mana-mana.
Kembali ke Mentalitas Pancasila
Negeri Indonesia yang dibangun di atas pijakan keluhuran budi
kebhinnekaan Nusantara oleh para pendiri bangsa seperti dilupakan.
Korupsi pun menjadi penyakit yang sulit disembuhkan, karena dilakukan
secara sistemik. Terkuaknya kasus-kasus korupsi di lembaga-lembaga
penegak hukum, belakangan ini merupakan wajah buram sejarah korupsi di
Indonesia.
Mengapa korupsi menjadi penyakit menahun di setiap lembaga dan
departemen/kementerian di Indonesia? Pasalnya, Pancasila yang memuat
nilai-nilai moral dan etis seakan menjadi pepesan kosong yang tak
bermakna dan cenderung dilupakan. Karena itu, kini waktunya menjadikan
Pancasila sebagai rumah bagi mentalitas semua komponen masyarakat.
Pancasila harus kembali dijadikan sebagai ‘kompas’ atau ‘rambu-rambu’
untuk bertindak dan berperilaku agar tak melenceng dari nilai-nilai yang
telah dijadikan sebagai kontrak sosial bersama sejak Indonesia merdeka.
Pada aras lain, Pancasila harus kembali dijadikan acuan hukum bahkan
sumber dari segala sumber hukum. Karena, dengan cara itu, Indonesia
benar-benar menjadi negara hukum, tidak lagi menjadikan nafsu atau
ketamakan harta di balik kepentingan setiap perundang-undangan atau
konstitusi. Sistem warisan rezim Orde Baru yang kental ketamakan akan
kekuasaan dan harta tampaknya tetap menyelimuti di antara komponen warga
bangsa.
Tak pelak, cara-cara lama penyusunan konstitusi yang kerap ditengarai
hanya untuk mencari celah pembenaran atas kehendak kelompok, golongan,
atau pribadi tertentu, tetap saja marak. Tak sedikit perundang-undangan
dibuat dengan mencederai prinsip sila keempat Pancasila, yang lebih
mengedepankan musyawarah-mufakat. Fakta bahwa banyak di antara elite
politik dan pejabat negeri ini ramai-ramai korupsi, tak dapat disangkal,
tidak sesuai acuan nilai-nilai luhur universal Pancasila. Perilaku
demikian jelas merupakan pelanggaran terhadap Pancasila.