‘Oknum’ Sebagai Sekat Moral
‘Oknum’, adalah istilah yang lazim dipakai untuk menyebut pelanggar hukum atau perbuatan tercela, saat ia secara personal dikaitkan dengan institusi atau lembaga resmi tempat ia bernaung atau beraktifitas. Lazim kita dengar, misalnya: ‘oknum PNS’, ‘oknum polisi’, ‘oknum TNI’, ‘oknum guru’, ‘oknum anggota ormas’, dan oknum-oknum lainnya.
‘Oknum’, adalah istilah yang lazim dipakai untuk menyebut pelanggar hukum atau perbuatan tercela, saat ia secara personal dikaitkan dengan institusi atau lembaga resmi tempat ia bernaung atau beraktifitas. Lazim kita dengar, misalnya: ‘oknum PNS’, ‘oknum polisi’, ‘oknum TNI’, ‘oknum guru’, ‘oknum anggota ormas’, dan oknum-oknum lainnya.
Penggunaan kata ‘oknum’ kepada identitas orang tersebut bermaksud
memisahkan dirinya secara personal dengan institusi atau komunitas
sosialnya. Sehingga pertanggungjawaban hukum atas tindakan orang
tersebut merupakan tanggungjawab dirinya pribadi, bukan sebagai bagian
dari institusi atau komunitasnya.
Pemisahan diri pribadi seseorang dengan institusi atau komunitasnya
sebagai subjek perbuatan hukum adalah hal yang wajar. Bahkan kalau
dilihat dari konteks hukum pidana, haruslah demikian adanya. Karena
hukum pidana kita – terkecuali secara terbatas dalam perbuatan pidana
tertentu — hanya mengenal diri pribadi orang sebagai subjek perbuatan
pidana. Hukum pidana tidak mengenal institusi sebagai subjek hukum
pidana.
Istilah ‘oknum’ terhadap pelanggar hukum tersebut berkonotasi etis,
bukan berkonotasi hukum. Penggunaan istilah tersebut untuk menyekat
ekses etis perbuatannya terhadap institusi. Agar tidak sampai terjadi
apa yang dikhawatirkan dalam pepatah lama: ‘gara-gara nila se-titik,
rusak susu sebelanga’.
Dalam konteks penegakan nilai-nilai etis komunitas, maka istilah oknum
dapat dilihat sebagai penyangkalan terhadap perbuatan si-‘oknum’.
Istilah oknum berarti bahwa ia telah di-persona non grata-kan
dari lingkungan komunitasnya. Perbuatannya bukanlah cerminan moral
kolektif komunitas tempat ia bernaung, sehingga – setidaknya dalam
batas-batas perbuatannya yang tercela itu — ia tak diakui atau tak
diinginkan.
Penyematan istilah oknum kepada seseorang itu hanya menyangkut perbuatan
tercela sebagai subjek perbuatan. Sedangkan untuk perbuatan positif
atau prestasi, istilah oknum tak digunakan. Ituah sebabnya kenapa jika
seseorang melakukan perbuatan budiman, atas inisiatif sendiri tanpa
sokongan institusinya, istilah ‘oknum’ tidak disematkan padanya.
‘Oknum’, Sebagai Bentuk Lain Cuci Tangan
Namun belakangan istilah ‘oknum’ semakin menjauh dari konteks. Istilah ini bukan lagi sebagai sekat dalam pengertian positif, melainkan sebagai bentuk cuci tangan institusi terhadap keadaan-keadaan negatif yang sesungguhnya berlangsung secara sistematis dan terus menerusi.
Namun belakangan istilah ‘oknum’ semakin menjauh dari konteks. Istilah ini bukan lagi sebagai sekat dalam pengertian positif, melainkan sebagai bentuk cuci tangan institusi terhadap keadaan-keadaan negatif yang sesungguhnya berlangsung secara sistematis dan terus menerusi.
Bagaimana mungkin, misalnya, damai tilang yang lazim dilakukan petugas
polantas dan telah diketahui oleh hampir seluruh rakyat Indonesia
sebagai perbuatan oknum? Bagaimana mungkin sebuah kejahatan manipulasi
oleh petugas perpajakan yang berlangsung lama dan telah diketahui oleh
banyak orang, merupakan perbuatan oknum? Terlebih kalau ada atasan dan
bawahan yang (bahkan terbukti) terlibat dalam perbuatan tersebut.
Dalam kasus yang sedang hangat beberapa hari belakangan ini, kasus FPI,
masihkah disimpulkan sebatas sebagai perbuatan oknum padahal aksi-aksi
yang mereka lakukan telah sering menimbulkan konfrontasi fisik, bahkan
dilakukan berulang-ulang di depan umum di bawah sorotan kamera televisi?
Mereka selalu menggunakan atribut yang sama, pola yang sama, bahkan
hampir selalu dengan cara kekerasan yang sama melakukan aksi. Masihkah
ini dilihat sebagai oknum?
Dalam konteks beberapa contoh yang sebutkan di atas, kata ‘oknum’
dimaksudkan juga sebagai pernyataan permakluman terhadap kejadian yang
tak diharapkan. Apa yang terjadi adalah di luar kehendak. Atau dengan
kata lain, kejadian yang tak diharapkan tersebut adalah sekedar insiden.
Padahal seharusnya, insiden yang terjadi secara berulang-ulang dan
dengan pola yang sama seharusnya dapatlah dianggap sebagai perbuatan
yang disengaja. Atau setidaknya patut diprediksi bisa terjadi. Kecuali
pelakunya adalah orang yang akalnya sudah tak sehat. Tapi, apakah
mungkin orang tak sehat akal mampu mengorganisir diri dan melakukan
tindakan bersama dalam kelompok?
Sisi Lain Penggunan Istilah ‘Oknum’
Penggunaan kata oknum sebagai cara cuci tangan membuat penyelesaian setiap permasalahan –baik secara politis mupun hukum –tidak pernah tuntas. Perbuatan dilokalisir sedemikian rupa dan sengaja mengabaikan faktor-faktor utama (misalnya aktor intelektualnya) sehingga penanganannya hanya menyentuh permukaan, dengan mengorbankan orang-orang bawahan yang relatif tidak berdaya. Dalam konteks hukum misalnya, yang diperiksa dan diadili hanya sebatas pelaku di lapangan tanpa menggali lebih dalam apakah ada persiapan-persiapan atau ada yang menyuruh sebelumnya sehingga terjadinya peristiwa.
Penggunaan kata oknum sebagai cara cuci tangan membuat penyelesaian setiap permasalahan –baik secara politis mupun hukum –tidak pernah tuntas. Perbuatan dilokalisir sedemikian rupa dan sengaja mengabaikan faktor-faktor utama (misalnya aktor intelektualnya) sehingga penanganannya hanya menyentuh permukaan, dengan mengorbankan orang-orang bawahan yang relatif tidak berdaya. Dalam konteks hukum misalnya, yang diperiksa dan diadili hanya sebatas pelaku di lapangan tanpa menggali lebih dalam apakah ada persiapan-persiapan atau ada yang menyuruh sebelumnya sehingga terjadinya peristiwa.
Penggunaan istilah oknum dengan maksud melokalisir penanganan
permasalahan, berakibat tidak dilakukan koreksi total terhadap institusi
atau komunitas tempat keberadaan si-‘oknum’. Padahal dengan tidak
adanya koreksi total tersebut,dari hari ke hari bermunculan oknum-oknum
baru yang mengulangi perbuatan yang sama, bahkan dengan lebih berani.
Mereka menjadi lebih berani karena perbuatan tersebut menjadi identitas
bersama. Pelanggaran hukum dan perbuatan anarkis secara diam-diam
menjadi ukuran loyalitas dalam kelompok. Bahkan bisa jadi pemidanaan
yang dijalani si-oknum menjadi ukuran peringkat kelas dalam kelompoknya.
Akhirnya pelanggar hukum akan semakin berani mengorganisir diri dalam
kelompoknya secara terbuka, dan bila perlu diformalkan sebagai sebuah
organisasi yang diakui secara legal.
Sumber : http://hukum.kompasiana.com/