1. CALEG DPR RI DAPIL V JABAR NO. URUT 5

2. Ketua Forum Redam Korupsi (FORK)-Cabang Bogor.

3. Ketua Lembaga Kajian Sosial Ekonomi-Wilayah Bogor.

4. Koordinator Konsultasi Hukum bagi Rakyat-Wilayah Bogor.

Minggu, 09 Februari 2014

‘Oknum’ Pelanggar Hukum, Benarkah?

‘Oknum’ Sebagai Sekat Moral
‘Oknum’, adalah istilah yang lazim dipakai untuk menyebut pelanggar hukum atau perbuatan tercela, saat ia secara personal dikaitkan dengan institusi atau lembaga resmi tempat ia bernaung atau beraktifitas. Lazim kita dengar, misalnya: ‘oknum PNS’, ‘oknum polisi’, ‘oknum TNI’, ‘oknum guru’, ‘oknum anggota ormas’, dan oknum-oknum lainnya.

Penggunaan kata ‘oknum’ kepada identitas orang tersebut bermaksud memisahkan dirinya secara personal dengan institusi atau komunitas sosialnya. Sehingga pertanggungjawaban hukum atas tindakan orang tersebut merupakan tanggungjawab dirinya pribadi, bukan sebagai bagian dari institusi atau komunitasnya.
Pemisahan diri pribadi seseorang dengan institusi atau komunitasnya sebagai subjek perbuatan hukum adalah hal yang wajar. Bahkan kalau dilihat dari konteks hukum pidana, haruslah demikian adanya. Karena hukum pidana kita – terkecuali secara terbatas dalam perbuatan pidana tertentu — hanya mengenal diri pribadi orang sebagai subjek perbuatan pidana. Hukum pidana tidak mengenal institusi sebagai subjek hukum pidana.
Istilah ‘oknum’ terhadap pelanggar hukum tersebut berkonotasi etis, bukan berkonotasi hukum. Penggunaan istilah tersebut untuk menyekat ekses etis perbuatannya terhadap institusi. Agar tidak sampai terjadi apa yang dikhawatirkan dalam pepatah lama: ‘gara-gara nila se-titik, rusak susu sebelanga’.
Dalam konteks penegakan nilai-nilai etis komunitas, maka istilah oknum dapat dilihat sebagai penyangkalan terhadap perbuatan si-‘oknum’. Istilah oknum berarti bahwa ia telah di-persona non grata-kan dari lingkungan komunitasnya. Perbuatannya bukanlah cerminan moral kolektif komunitas tempat ia bernaung, sehingga – setidaknya dalam batas-batas perbuatannya yang tercela itu — ia tak diakui atau tak diinginkan.
Penyematan istilah oknum kepada seseorang itu hanya menyangkut perbuatan tercela sebagai subjek perbuatan. Sedangkan untuk perbuatan positif atau prestasi, istilah oknum tak digunakan. Ituah sebabnya kenapa jika seseorang melakukan perbuatan budiman, atas inisiatif sendiri tanpa sokongan institusinya, istilah ‘oknum’ tidak disematkan padanya.
‘Oknum’, Sebagai Bentuk Lain Cuci Tangan
Namun belakangan istilah ‘oknum’ semakin menjauh dari konteks. Istilah ini bukan lagi sebagai sekat dalam pengertian positif, melainkan sebagai bentuk cuci tangan institusi terhadap keadaan-keadaan negatif yang sesungguhnya berlangsung secara sistematis dan terus menerusi.
Bagaimana mungkin, misalnya, damai tilang yang lazim dilakukan petugas polantas dan telah diketahui oleh hampir seluruh rakyat Indonesia sebagai perbuatan oknum? Bagaimana mungkin sebuah kejahatan manipulasi oleh petugas perpajakan yang berlangsung lama dan telah diketahui oleh banyak orang, merupakan perbuatan oknum? Terlebih kalau ada atasan dan bawahan yang (bahkan terbukti) terlibat dalam perbuatan tersebut.
Dalam kasus yang sedang hangat beberapa hari belakangan ini, kasus FPI, masihkah disimpulkan sebatas sebagai perbuatan oknum padahal aksi-aksi yang mereka lakukan telah sering menimbulkan konfrontasi fisik, bahkan dilakukan berulang-ulang di depan umum di bawah sorotan kamera televisi? Mereka selalu menggunakan atribut yang sama, pola yang sama, bahkan hampir selalu dengan cara kekerasan yang sama melakukan aksi. Masihkah ini dilihat sebagai oknum?
Dalam konteks beberapa contoh yang sebutkan di atas, kata ‘oknum’ dimaksudkan juga sebagai pernyataan permakluman terhadap kejadian yang tak diharapkan. Apa yang terjadi adalah di luar kehendak. Atau dengan kata lain, kejadian yang tak diharapkan tersebut adalah sekedar insiden.
Padahal seharusnya, insiden yang terjadi secara berulang-ulang dan dengan pola yang sama seharusnya dapatlah dianggap sebagai perbuatan yang disengaja. Atau setidaknya patut diprediksi bisa terjadi. Kecuali pelakunya adalah orang yang akalnya sudah tak sehat. Tapi, apakah mungkin orang tak sehat akal mampu mengorganisir diri dan melakukan tindakan bersama dalam kelompok?
Sisi Lain Penggunan Istilah ‘Oknum’
Penggunaan kata oknum sebagai cara cuci tangan membuat penyelesaian setiap permasalahan –baik secara politis mupun hukum –tidak pernah tuntas. Perbuatan dilokalisir sedemikian rupa dan sengaja mengabaikan faktor-faktor utama (misalnya aktor intelektualnya) sehingga penanganannya hanya menyentuh permukaan, dengan mengorbankan orang-orang bawahan yang relatif tidak berdaya. Dalam konteks hukum misalnya, yang diperiksa dan diadili hanya sebatas pelaku di lapangan tanpa menggali lebih dalam apakah ada persiapan-persiapan atau ada yang menyuruh sebelumnya sehingga terjadinya peristiwa.
Penggunaan istilah oknum dengan maksud melokalisir penanganan permasalahan, berakibat tidak dilakukan koreksi total terhadap institusi atau komunitas tempat keberadaan si-‘oknum’. Padahal dengan tidak adanya koreksi total tersebut,dari hari ke hari bermunculan oknum-oknum baru yang mengulangi perbuatan yang sama, bahkan dengan lebih berani.
Mereka menjadi lebih berani karena perbuatan tersebut menjadi identitas bersama. Pelanggaran hukum dan perbuatan anarkis secara diam-diam menjadi ukuran loyalitas dalam kelompok. Bahkan bisa jadi pemidanaan yang dijalani si-oknum menjadi ukuran peringkat kelas dalam kelompoknya. Akhirnya pelanggar hukum akan semakin berani mengorganisir diri dalam kelompoknya secara terbuka, dan bila perlu diformalkan sebagai sebuah organisasi yang diakui secara legal.